- Back to Home »
- HARDIKNAS »
- Peranan Kartini dalam Pendidikan Indonesia
Posted by :
Wiwik and Setyawan
Mei 17, 2013
Kalau kita teliti, jejak perjuangan Kartini adalah perjuangan agar
perempuan Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Bukan perjuangan
untuk emansipasi di segala bidang. Kartini
menyadari, perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan. Agar dapat
menjalankan perannya dengan baik, perempuan harus mendapat pendidikan yang baik
pula.
Dalam sebuah suratnya, kepada Prof.
Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902 Kartini
menulis, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak
perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu
menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin
akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap
melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam
tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
Atas kesadaran tersebut, Kartini berniat melanjutkan sekolah ke
Belanda, “Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland
akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih” (Surat
Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900). Waktu itu, Kartini beranggapan bahwa Eropa adalah tempat peradaban tertinggi
dan paling sempurna di muka bumi. Namun, rencana itu tak pernah berhasil.
Kartini hanya mendapat kesempatan menempuh sekolah guru di Betawi. Kesempatann
ini pun batal dijalaninya karena dia harus menikah dengan R.M.A.A. Singgih
Djojo Adhiningrat.
Walaupun awalnya banyak menentang
adat Jawa yang kaku dan kebiasaan bangsawannya berpoligami, Kartini menerima pernikahan tersebut.
Ada sebuah kesadaran di benaknya, dengan menikah dia akan berkesempatan untuk
mendirikan sekolah bagi perempuan bumiputra. Alasan ini masuk akal
karena suaminya adalah seorang bupati yang berkuasa dan mengizinkan bahkan
mendukungnya untuk mendirikan sekolah. Keputusan yang luar biasa dari seorang
pahlawan sejati.
Pada hari pernikahannya, seorang
ustad dari Semarang, Haji Mohammad Sholeh bin Umar, menghadiahkan beberapa juz
al-Quran berbahasa Jawa. Kegelisahan Kartini
terhadap agama Islam pun terjawab. Sebelumnya, dalam kehidupan sehari-harinya Kartini hanya diajarkan membaca Al-Quran
tanpa diizinkan untuk mengetahui artinya.
Setelah mempelajari Al-Quran,
pandangan Kartini terhadap beberapa
hal pun berubah. Di antaranya, pandangannya terhadap peradaban Eropa, “…,
tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang
paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap
masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang
indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut
disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober
1902). Pandangan Kartini
terhadap poligami pun berganti, jika awalnya menentang, setelah mengenal ajaran
Islam dia menerimanya.
Sayangnya, Haji Mohammad Sholeh
meninggal sebelum sempat menyelesaikan seluruh terjemahan Al-Quran untuk Kartini. Kartini pun hanya mempelajari beberapa jus terjemahan tersebut.
Jika saja dia sempat mempelajari keseluruhan Al Quran, tidak mustahil ia akan
menerapkan semua kandungannya. Kartini
berani berbeda dengan tradisi adatnya yang mapan, dia juga memiliki ketaatan
yang tinggi terhadap ajaran Islam. Bukunya yang berjudul Habis Gelap
Terbitlah Terangmina dulumati ila nuur. Kartini menyadari bahwa sumber pendidikan terbaik justru ada di
dekatnya, yaitu Al-Quran, bukan di Eropa.
Pada 13 Septembar 1904, Kartini meninggal pada usia yang masih
muda, 25 tahun dan dimakamkan di Rembang. Untuk menghormatinya, Van Deventer,
seorang tokoh politik Etis, mendirikan Yayasan
Kartini (1912). Yayasan tersebut bertugas mengelola “Sekolah Kartini” yang didirikan di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang,
Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.